LCN | ATAMBUA – Dalam fakta persidangan praperadilan Kamis (14/1/2021) terungkap, surat panggilan kedua oleh penyidik Polres Belu terhadap Akulina Dahu sudah dibuat sebelum Pilkada Belu 9 Desember 2020.
Surat yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim, Wira Satria Yudha, S.I.K itu tertanggal 26 Desember 2020 disebutkan bahwa surat tersebut telah dikirim dan diterima oleh Akulina Dahu pada Tanggal 3 Desember 2020. Padahal, Pilkada Belu berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020.
Surat ini pun dijadikan bukti T.8 oleh Polres Belu sebagai termohon pada fakta persidangan praperadilan kasus Akulina Dahu. Sebelumnya, surat panggilan pertama dibuat pada tanggal 21 Desember 2020.
Menanggapi surat panggilan kedua itu, Kuasa Hukum Akulina Dahu, Steven Alves Tes Mau menuturkan bahwa surat panggilan yang dibuat oleh Polres Belu terkesan sama sekali tidak dikirimkan ke Akulina Dahu.
“Patut diduga, Polres Belu terkesan terburu-buru dalam membuat surat panggilan karena adanya gugatan dari Akulina Dahu. Kalau tidak digugat, mungkin surat panggilan itu tidak dibuat,”jelas Steven
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam persidangan praperadilan pada, Kamis (14/01), Saksi dari Panwascam, Adrianus Halek mengaku bahwa surat panggilan tersebut dititipkan oleh Penyidik Polres Belu kepadanya.
Kemudian, Adrianus menitipkan surat panggilan tersebut kepada anggota KPPS yang bernama Dominggus Nahak. Setelah itu, Adrianus tidak menanyakan lebih lanjut tentang surat tersebut karena merasa bukan kewenangannya.
“Tindakan penyidik ini sudah barang tentu melanggar Pasal 227 KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa penyidik harus bertemu dan berbicara langsung dengan orang yang akan dipanggil. Sedangkan penyidik hanya menitipkan surat panggilan itu melalui orang lain. Karena itu, surat yang dilayangkan itu tidak sah dan tidak patut,” tegas pengacara muda yang akrab disapa Even itu.
Even berharap, melalui berbagai fakta persidangan dalam sidang Praperadilan ini, Hakim dapat bertindak bijak dalam mengambil keputusan karena penetapan Akulina Dahu sebagai tersangka tidak sah secara aturan formil.
Sebelumnya, kasus ini diberitakan oleh media Kalambatu, dengan judul “Akulina Dahu, Gadis Malang di Bilik TPS”. Dituliskan, Akulina Dahu, seorang gadis desa yang baru saja lulus sarjana di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang pada bulan Oktober 2020 lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Belu pada tanggal 29 Desember 2020 karena dugaan pelanggaran Pemilu pada Pilkada Belu 2020.
Dalam konferensi pers akhir tahun 2020 di Aula Lantai I Mapolres Belu, Rabu (30/12/2020), Kapolres Belu, AKBP Khairul Saleh mengungkapkan bahwa Akulina adalah pemilih yang menggunakan KTP luar Belu untuk mencoblos di TPS 02 Desa Nanaenoe. Tersangka CM adalah anggota KPPS 05 yang berperan mengurus daftar hadir di pintu masuk TPS sedangkan tersangka PJ adalah ketua KPPS 04. Ia berperan memberikan surat suara kepada pemilih.
Dikatakan, Lina datang mencoblos menggunakan identitas KTP. KTP yang dimiliki tersangka Lina adalah KTP lama yang bagian kop KTP masih tertulis Provinsi NTT, Kabupaten Belu. Padahal wilayah tempat tinggal Lina berdasarkan KTP tersebut merupakan wilayah pemerintahan Kabupaten Malaka dengan alamat Fukanfehan, Desa Alas Utara, Kabupaten Malaka.
Sesuai pengakuan tersangka CM yang termuat dalam laporan polisi, dirinya kurang teliti saat melayani tersangka AD. Ia baru mengetahui tersangka AD menggunakan KTP luar Belu setelah surat suara sudah dicoblos.
Dugaan tindak pidana ini menjadi temuan pengawas dan ditelusuri lebih lanjut oleh tim Sentra Gakkumdu. Hasil penelusuran, Gakkumdu menemukan ada unsur pidana Pemilu yang dilakukan AD serta dua orang petugas KPPS sehingga Gakkumdu merekomendasikan kasus itu dibawa ke Polres Belu.
Penyidik Polres Belu melakukan penyelidikan hingga tahap penyidikan. Setelah cukup bukti, penyidik menetapkan tiga orang tersangka. “Setelah kita menerima laporan polisi, kami periksa saksi dan terlapor. Kemudian kami gelar perkara yang diikuti Gakkumdu. Dari situ kita tetapkan tiga tersangka,” kata Kapolres.
Menurut Kapolres, tersangka AD dijerat dengan pasal 178 huruf c ayat 1, UU 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati dan Pemilihan Wali Kota menjadi Undang-Undang dengan ancaman penjara paling singkat 36 bulan atau paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta atau paling banyak Rp72 juta. [Osb/Tim]
Editor : Anung